Kasus Intervensi SPMB: Pengingat Keras di Musim Penerimaan Murid Baru 2025

48
Oplus_16777216

PelitaTangerang.com, Tangsel –  Suasana penerimaan murid baru (SPMB) tahun ini sedikit banyak diwarnai keprihatinan publik, menyusul viralnya kasus rekomendasi dari salah satu anggota dewan di Provinsi Banten. Rekomendasi tersebut menuai kontroversi karena dianggap sebagai bentuk intervensi dalam proses seleksi siswa. Akibatnya, yang bersangkutan langsung dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD oleh partainya.(3/7/25)

Kasus ini mengungkap satu hal penting: justru intervensi seperti ini sering kali datang dari pihak-pihak yang sangat memahami regulasi. Bukan dari masyarakat awam, melainkan dari oknum yang seharusnya menjadi pengawas jalannya proses.

Menanggapi hal ini, Eko Pranoto, Ketua Perkumpulan Kepala Sekolah Swasta (PKSS) Tangerang Selatan, menyampaikan keprihatinan sekaligus apresiasinya. “Kami mengapresiasi langkah tegas partai yang memberikan sanksi tegas ke kadernya. Ini jadi preseden penting, sekaligus pengingat bagi dewan lain untuk tidak bermain-main dalam proses SPMB,” ujarnya.

Eko juga menegaskan bahwa sejauh ini situasi di Tangerang Selatan relatif aman dan terkendali. Ia mengapresiasi komitmen Wakil Wali Kota Pilar Saga Ichsan yang menyatakan dengan tegas bahwa SPMB 2025 harus bersih dari praktik titipan atau transaksi gelap. “Beliau secara terbuka menyampaikan bahwa siapa pun yang melanggar akan disanksi tegas. Saya percaya beliau akan menjaga komitmen itu, dan satu sisi Dindikbud Tangerang Selatan juga harus tegas melaksanakan apa yang jadi komitmen wakil walikota itu.” tambah Eko.

Saat awak media menanyakan soal perubahan petunjuk teknis (juknis) yang muncul menjelang pelaksanaan SPMB, Eko menjelaskan bahwa perubahan itu sebenarnya memiliki dasar yang cukup rasional. “Saya pelajari, perubahan juknis ini muncul karena ada beberapa SMP negeri yang jumlah siswa tidak naik kelas cukup signifikan. Itu otomatis mempengaruhi alokasi kuota per rombongan belajar (rombel), meskipun tetap dijaga agar tidak melebihi batas maksimal 42 siswa per rombel,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa munculnya kluster 1, 2, dan 3 dalam juknis perubahan justru merupakan langkah positif. “Penentuan domisili tidak hanya fokus pada jarak terdekat saja, tapi juga mengakomodasi siswa yang berdomisili hingga 3 km. Ini sangat membantu anak-anak dari kelurahan yang memang tidak punya sekolah negeri, karena mereka jadi bisa bersaing di zona yang lebih berkeadilan,” tambah Eko.

Menurutnya, yang terpenting adalah penyampaian informasi juknis harus cepat, transparan, dan mudah dipahami agar tidak menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. “Kalau komunikasinya lancar, sekolah dan orang tua bisa lebih tenang, dan kita semua bisa fokus memastikan anak-anak dapat akses pendidikan terbaik tanpa hambatan teknis atau politis,” tutupnya.(Red/Epp)