Kasus SMAN 1 Cimarga Dinilai Reaktif, Abaikan Fakta Hukum Rokok Sebagai Zat Adiktif

43

PelitaTangerang.com, Banten – Keputusan penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria, mendapat sorotan luas dari masyarakat. Banyak pihak menilai langkah tersebut terlalu reaktif dan mengabaikan konteks sebenarnya: pelanggaran siswa terhadap aturan kawasan bebas rokok serta mandat hukum kepala sekolah dalam menjaga lingkungan pendidikan.(16/1/25)

Kasus ini bermula dari seorang siswa yang kedapatan merokok di area sekolah. Kepala sekolah melakukan pembinaan, yang kemudian dilaporkan sebagai tindakan fisik. Namun, proses hukum dan klarifikasi belum selesai, pemerintah provinsi langsung mengambil langkah penonaktifan.

“Ini bukan semata soal guru dan siswa, tapi soal penegakan aturan yang memiliki dasar hukum jelas. Kepala sekolah menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi lingkungan sekolah dari zat adiktif,” ujar salah satu pemerhati pendidikan Banten.

Rokok Diakui sebagai Zat Adiktif dalam UU
Berdasarkan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, rokok dan produk tembakau dikategorikan sebagai zat adiktif yang dapat menyebabkan ketergantungan dan merusak kesehatan.

Sekolah — sebagai institusi pendidikan — secara hukum wajib menjadi kawasan bebas dari zat adiktif.
Hal ini diperkuat dengan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, yang mewajibkan:
• Pelarangan penggunaan dan promosi rokok di area sekolah,
• Pembinaan terhadap siswa yang melanggar,
• Penegakan tata tertib yang konsisten.
Penegakan aturan ini bukan hanya kewajiban moral, tapi juga perintah hukum yang harus dijalankan oleh setiap kepala sekolah.
Rokok Sebagai “Gerbang” Penyalahgunaan Narkoba

Data dari BNN dan Kementerian Kesehatan menunjukkan, lebih dari 80% pengguna narkoba pertama kali mengenal zat adiktif melalui rokok dan alkohol. Rokok disebut sebagai gateway drug — pintu masuk menuju penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Dengan demikian, tindakan pembinaan terhadap siswa yang merokok di sekolah adalah bagian dari strategi pencegahan dini penyalahgunaan narkoba, bukan semata pelanggaran disiplin kecil.

Perlindungan Anak Harus Dipahami Secara Utuh
Kasus ini kerap dikaitkan dengan UU Perlindungan Anak. Namun, perlu diingat bahwa Pasal 19 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. UU Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan:
“Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru; mencintai keluarga dan masyarakat; serta melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.”
Artinya, anak juga wajib menghormati guru dan menaati aturan sekolah, bukan hanya dilindungi hak-haknya. Perlindungan anak tidak boleh ditafsirkan sepihak sehingga menutup mata terhadap pelanggaran serius yang dilakukan siswa.

Kritik terhadap Respons Pemerintah Daerah

Langkah cepat pemerintah menonaktifkan kepala sekolah dinilai terlalu terburu-buru dan melemahkan wibawa tenaga pendidik.
“Guru dan kepala sekolah bisa kehilangan keberanian menegakkan aturan jika setiap tindakan disiplin langsung direspons dengan sanksi atau pemberhentian,” ujar pengamat pendidikan lainnya.
Langkah reaktif seperti ini dapat menimbulkan efek domino: siswa merasa kebal aturan, sementara guru berada dalam posisi serba salah.

Seruan Publik

Sejumlah pihak mendesak Pemerintah Provinsi Banten dan Dinas Pendidikan untuk:
1. Melakukan investigasi objektif dan menyeluruh, bukan berdasarkan tekanan opini semata.
2. Menegaskan kembali kawasan sekolah sebagai zona bebas rokok dan zat adiktif.
3. Memberikan dukungan moral dan hukum kepada tenaga pendidik dalam menegakkan tata tertib.
4. Mengedepankan prinsip perlindungan anak yang berimbang antara hak dan kewajiban.

Kasus SMAN 1 Cimarga seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat disiplin, bukan melemahkannya. Rokok bukan sekadar pelanggaran kecil, tapi pintu masuk terhadap bahaya kesehatan dan narkoba. Kepala sekolah dan guru adalah garda depan dalam membentuk generasi yang sehat, berkarakter, dan bebas dari zat adiktif. Langkah pembinaan semestinya mendapat dukungan, bukan sanksi sepihak.(Red)